Mentawai, Tanah Surga di Ujung Barat : Jejak Langkah Kami di Bumi Sejuta Tradisi

November 2024 akan selalu menjadi bulan yang tak terlupa. Di bawah langit yang jernih dan langit mentari yang membentang luas, saya bersama kontingen Kwartir Cabang 50 Kota melangkah jauh dari tanah asal, menuju Mentawai, sebuah gugusan surga tersembunyi di barat Sumatera Barat. Kami hadir sebagai bagian dari Kegiatan Kemah Bela Negara Kwartir Daerah 03 Sumatera Barat, yang diselenggarakan di Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Bagi kami, Mentawai bukan sekadar lokasi kegiatan. Ia adalah tanah purba yang memesona, tempat di mana alam, budaya, dan semangat kebangsaan berpadu menjadi satu kesatuan yang tak terlukiskan.

Malam Api Unggun di Tepi Rindu

Malam itu, di depan api unggun yang menjulang hangat, kami berdiri bersama—bersama tawa, bersama doa, bersama semangat. Di tengah udara laut yang menyapa lembut dan nyanyian serangga malam yang syahdu, kami mengikrarkan janji untuk mencintai negeri ini sepenuh hati. Sebuah foto sederhana di depan kobaran api menjadi saksi bisu kebersamaan yang tak akan lekang oleh waktu. Mentawai, dalam kebisuan malamnya, mengajarkan kami makna keberanian yang hening, dan kekuatan yang tenang. Bahwa cinta tanah air tak selalu hadir dalam pekik suara, tapi juga dalam peluh yang jatuh di tanah perkemahan.

 Tua Pejat: Perkemahan di Pangkuan Keindahan

Lokasi kemah kami berada di Tua Pejat, ibukota Kabupaten Mentawai yang berada di Pulau Sipora. Alamnya masih perawan. Pohon kelapa berjejer seolah penjaga setia, pasir putih membentang tak berujung, dan deburan ombak yang tak pernah berhenti—membangunkan jiwa kami setiap pagi. Mentawai adalah simfoni alam yang berjalan dalam keheningan, dan kami adalah notasi kecil yang bersyukur diberi kesempatan menyatu dengannya.

Di sela-sela kegiatan bela negara, kami menjelajahi beberapa pulau kecil di sekitar Mentawai. Pulau-pulau itu ibarat serpihan zamrud yang tercecer di samudra. Airnya jernih, langitnya bersih, dan pasirnya selembut harapan. Kami berenang, bercengkerama, dan membiarkan rasa kagum mengisi rongga-rongga hati.

Mentawai memberi kami pelajaran tentang keseimbangan antara menjaga dan menikmati, antara menjadi bagian dari alam dan tetap menjaganya dengan utuh.

 Budaya yang Menghidupkan Jiwa: Subet dan Tato Mentawai

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika kami diperkenalkan dengan budaya lokal Mentawai. Kami mencicipi Subet, makanan khas Mentawai yang terbuat dari sagu dan pisang—simbol sederhana namun sarat makna tentang hidup yang berpijak pada alam.

Tak hanya itu, kami juga belajar tentang tato Mentawai, salah satu tato tertua di dunia. Tato bagi masyarakat Mentawai bukan sekadar seni tubuh, melainkan jejak spiritual dan peta kehidupan. Setiap garisnya menceritakan kisah—tentang alam, tentang roh leluhur, dan tentang kehormatan

Bela negara bukan hanya tentang disiplin, upacara, atau mengenakan seragam. Mentawai mengajarkan kami bahwa bela negara adalah menjaga tradisi, menghargai alam, dan membangun cinta tanah air dari hati yang paling dalam. Kami belajar bahwa perbedaan bukan alasan untuk berjarak, tetapi alasan untuk saling mengenal.

 Mentawai dalam Ingatan, Indonesia dalam Cinta

Kami datang sebagai tamu, tapi pulang dengan hati sebagai anak dari Mentawai. Pengalaman ini bukan sekadar catatan di buku harian, tapi prasasti di jiwa. Kami membawa pulang bukan hanya kenangan, tetapi juga rasa cinta yang diperbarui untuk Indonesia—negeri yang begitu kaya, namun sering dilupakan keajaibannya.

Mentawai adalah negeri yang tidak hanya indah, tapi juga bijak. Ia menyambut kami dengan hangat, mengajarkan kami tentang keberanian, dan melepas kami dengan penuh cinta. Terima kasih, Mentawai. Kau tak hanya menjadi latar kegiatan kami. Kau telah menjadi bagian dari hidup kami.

Penulis : Nadira (Lima Puluh Kota)

Foto : Nadira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top