
Gunung Masurai terletak di kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Beda halnya dengan gunung Kerinci yang merupakan gunung api tertinggi kedua di Indonesia dengan mencapai ketinggian 3.805 Meter Di atas Permukaan Laut (MDPL), gunung Masurai merupakan sisa gunung api kompleks yang sangat luas dan besar dengan setengah kaldera tersisa dibagian timur. Sedangkan di sebelah barat muncul dua kerucut. Satu diantaranya memiliki dua buah danau vulkanik yaitu Danau Kumbang dan Danau Mabuk.
Perjalanan kali ini, saya mencoba menapak sekali lagi ke arah tengah Pulau Sumatera, berangkat dari kota kelahiran tercinta (Padang) menuju kota Sungai Penuh salah satu kota yang ada di Provinsi Jambi.
Hari pertama (persiapan)
Sebelumnya perjalanan ini diawali dengan kebiasaan saya yang suka review video pendakian gunung yang banyak tersebar di YouTube. Malam itu (senin,1 November 2021) usai bereskan setumpuk file-file edit foto pesanan di studio foto yang saya kelola, salah seorang Youtuber tengah membagikan cerita perjalanannya ke gunung Masurai. Gunung ini bukan termasuk gunung yang populer dikalangan pendaki, ditengah ramainya aktifitas anak-anak muda dalam pendakian gunung di berbagai wilayah Indonesia. Apalagi gunung Masurai terletak di wilayah konservasi yang mana ada terdapat gunung yang sangat populer di areanya yaitu gunung Kerinci.
Saya tertarik untuk berkunjung dan mencicipi kabutnya Masurai, yang katanya disetiap jalur pendakian jarang ditemukan trek bonus (jalan datar) dan semua tumbuhan diselimuti lumut. Akhirnya saya memantapkan diri untuk menyusun manajemen perjalanan, peralatan dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyak sebelum melakukan perjalan.
Saya mencoba menghubungi kawan sesama fotografer sebut saja namanya ARI TOYE yang merupakan penduduk asli kota Sungai Penuh, kemudian menjelaskan rencana perjalanan saya kali ini. Beruntungnya, Ari sangat ingin membantu saya untuk mentuntaskan misi ini dan bersedia menampung di rumahnya selama saya berada di kota Sungai Penuh.
Beranjak pulang dari jalan Ir. H. Juanda kota Padang (studio) menuju Balai Baru (rumah), saya langsung ke lantai 2 (dua) rumah untuk mengambil peralatan pendakian gunung dan langsung mempacking sesuai dengan daftar yang sudah saya susun pada saat di studio tadi. Adapun peralatan yang saya bawa seperti, Carrier 60 liter, tenda dome, matras, kantong tidur, botol air minum, peralatan masak beserta bahan bakarnya, peralatan makan, perlengkapan ibadah, perlengkapan mandi, jerigen air minum 1 liter, jas hujan, headlamp, P3K praktis dan beberapa pakaian. Usai peralatan dimasukan ke dalam carrier saya turun ke lantai 1 (satu) rumah menuju kamar tidur untuk mempersiapkan beberapa peralatan dokumentasi seperti, kamera, lensa, baterai, handy talkie, charger, powerbank serta drone. Seperti yang diinformasikan Ari pada saat saya menghubunginya, kita juga menjadwalkan untuk berwisata di kota Sungai Penuh dan melakukan pemotretan model di area pasar kota Sungai Penuh.

Setelah semua peralatan sudah dipastikan lengkap, saya mencoba untuk beristirahat walaupun kebiasaan ketika akan melaksanakan perjalanan seperti ini paling susah untuk tidur, mungkin sudah merasa tidak sabar dan menggebu-gebu untuk segara berangkat.
Hari kedua (on the way)
Pagi ini (selasa,2 November 2021) sekitar pukul 09.00 Wib setelah sarapan, saya menuju tempat orang tua (perempuan) saya bekerja di SD Negeri 10 Sungai Sapih berjarak 600 meter dari rumah untuk berpamitan dan menitipkan beberapa keperluan yang saya tingggalkan selama 1 (satu) minggu kedepan.
Beranjak dari sekolah, kali ini saya menggunakan sepeda motor memilih jalur Padang – Solok dengan target pemberhentian pertama yaitu SPBU area PT. Semen Padang untuk mengisi bahan bakar motor. Dari rumah ke SPBU area PT. Semen Padang berjarak kurang lebih 12 Km dengan lama perjalanan 25 menit. Selesai mengisi bbm, saya melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian kedua yaitu di Danau Atas untuk mendinginkan suhu motor. Sepanjang perjalan menuju Danau Atas, saya melewati tikung viral di medsos (sitinjau lauik), perbatasan kota Padang dengan Solok hingga sampai di area pemberhentian yang biasa dijadikan lokasi istirahat, pengisan bbm, beribadah maupun untuk menyantap kuliner yaitu di daerah Lubuk Lasih. Namun demikian, saya tidak memilih tempat ini untuk beristirahat dan dari Lubuk Lasih (perempatan) saya mengambil arah ke kanan menuju Danau Atas. Jarak yang ditempuh dari PT. Semen Padang ke Danau Atas kurang lebih 42 Km dengan lama perjalanan 1 jam 15 menit. Menjelang sampai di Danau Atas, kita melewati hamparan kebun teh yang sangat cantik dan memanjakan mata.
Sedikit informasi, bahwasanya Danau Atas juga memiliki kembarannya yang disebut Danau Bawah sehingga disebut Danau Kembar. Danau Kembar dengan ketinggian 800 MDPL ini terbentuk dari hasil letusan gunung berapi purba, yang kemudian meninggalkan kawah yang terisi air dan menjadi dua danau. Namun ada pula legenda masyarakat setempat yang menceritakan jika danau ini terbentuk dari bangkai naga raksasa yang dibunuh oleh Niniak Gadang Bahan, seorang pembuat tonggak. Konon, naga tersebut terbelah menjadi dua dan tertimbun tanah, kemudian tergenang air dan membentuk danau kembar. Legenda lain menyebutkan bahwa bangkai naga tersebut terkubur membentuk angka delapan. Bentuk inilah yang dipercaya sebagai asal mula nama “Danau Kembar”.
Sesampainya di Danau Atas, saya berhenti disalah satu warung kecil untuk beristirahat sembari mendinginkan suhu mesin dan memesan segelas kopi hitam khas Alahan Panjang. Menikmati segelas kopi hitam dibalut udara yang dingin dan sejuk serta disuguhkan panorama Danau Atas yag cantik, memberikan pengalaman menarik dalam perjalanan kali ini.
Bagi kawan-kawan yang melakukan perjalanan di daerah ini dan hanya menjadikan lokasi ini sebagai tempat isitirahat, saya sarankan jangan terlalu lama, karena suasana yang tenang dan sejuk bisa menimbulkan rasa malas gerak dan mengantuk. HeHeHeHe…..
Setelah 30 menit dan jam menunjukan pukul 10.40 Wib, saya melanjutkan perjalanan menuju Muaro Labuh untuk isitirahat makan siang, menurut informasinya masakan di daerah tersebut terbilang sangat enak. Saya harus menumpuk jarak sejauh 70 Km untuk mengisi BBP (Bahan Bakar Perut) dengan lama perjalanan kurang lebih 2 (dua) jam lagi. Kondisi jalan setelah danau kembar ini cukup memprihatinkan, jalan yang berlubang sesekali menemukan jalan amblas. semoga pemerintah kabupaten daerah dan provinsi sumbar dapat memberikan solusi untuk perbaikan.
Akhirnya saya sampai di Muaro Labuh yang terkenal dengan lokasi “Saribu Rumah Gadang” dan langsung berhenti di salah satu rumah makan minang untuk mengisi perut. Saya memesan nasi Padang dan Rendang daging sapi serta segeles es teh manis. Di tempat ini saya mengahabiskan waktu untuk beristirahat selama 30 menit dan langsung mengarah ke kota Sungai Penuh.
Usai makan siang, saya kembali “ngaspal” dan menuju SPBU untuk menambah bbm, jaga-jaga biar tidak ada crash di perjalanan. Karena saya berencana untuk tidak berhenti hingga sampai di kediaman kawan saya Ari di Siulak,Sungai Penuh. Hari menunjukan pukul 13.10 Wib saya bergegas melanjutkan perjalanan. Dari titik ini saya kembali melewati kebun teh hingga melewati perbatasan Kabupaten Solok Selatan (Sumbar) dan Kabupaten Kerinci (Jambi).
Setelah melewati perbatasan Sumbar-Jambi saya menanjak di area yang cukup ikonik kalau kita menuju Sungai Penuh yaitu “Letter W”. Jalan yang berbelok membentuk huruf W ini konon banyak turun hewan buas seperti Harimau. Di lokasi ini, cuaca tadinya cerah tiba-tiba mendung dan hujan deras sehingga mengharuskan untuk berhenti sejenak. Walaupun saya mengenakan jas hujan, tetap saja waspada dengan barang-barang yang saya bawa menggunakan carrier menjadi basah. Apalagi didalamnya ada barang-barang elektronik seperti kamera dan drone. Sangat menghawatirkan jika barang ini ikut basah sehingga saya tidak bisa mengabadikan perjalanan saya kali ini.

Masih di puncak Letter W pukul 15.15 Wib yang memaksa saya berhenti selama 30 menit dikarenakan hujan deras, saya melanjutkan perjalanan melewati daerah kebun teh Kayu Aro walaupun masih gerimis. Sangat disayangkan karena cuaca mendung, saya tidak dapat menikmati gagahnya gunung Kerinci. Tapi tidak apa-apa, karena masih banyak waktu saya di sini untuk dapat melihat langsung pesona gunung Kerinci dari Kota Sungai Penuh.
Tepat pukul 16.30 Wib saya sampai di rumah Ari di daerah Siulak, kira-kira berjarak 12 Km dari pusat Kota Sungai Penuh. Kehangatan yang menyambut saya di rumah ini, seakan mengingatkan kembali perjalanan saya ketika ke Pagar Alam, Sumatera Selatan menyambangi gunung Dempo tahun lalu. Suguhan kopi khas Kerinci dan makanan ringan hangat melengkapi cerita saya bersama kawan yang sudah 2 (dua) tahun tidak bertemu. Beberapa kawan lain yang juga datang menambah kehangatan berbagi pengalaman. Ada juga kawan saya “JEKY” saat di Padang seorang Make Up Artis (MUA) yang pernah saya bawa bulan Maret untuk pemotretan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat di Istana Gubernur.
Setelah bercerita cukup lama, saya merapikan barang bawaan dan membersihkan tubuh karena Ari berencana membawa saya untuk menjajaki kuliner malam di Kota Sungai Penuh. Kami pun berangkat bertiga malam ini sekaligus merencanakan jadwal dan teknis aktifitas esok harinya. Kami berencana untuk pemotretan model di area pasar Sungai Penuh dan beberapa spot apik yang ada di kota ini.
Hari ketiga (meeting pendakian)
Pagi hari nya di Kota Sungai penuh sambil sarapan, saya menawarkan kepada kawan-kawan untuk menemani saya dalam pendakian ke gunung Masurai. Saat itu ada 3 (tiga) orang yang bersedia ikut, walaupun salah satu dari kami belum pernah mendaki ke gunung Masurai. Adapun yang kemakan rayuan ialah Jeky, Nadel dan Arya. Selanjutnya saya memaparkan beberapa point penting yang harus kita siapkan untuk pendakian kali ini. Dikarenakan pendakian kali ini berjumlah 4 orang, perlu kiranya menambah peralatan pendakian seperti tenda dan kebutuhan kelompok lainnya. Kami menjadwalkan untuk checking akhir kesiapan dan berkumpul kembali malam harinya.
Pada sore harinya kami melanjutkan janji pemotretan model di area Pasar Sungai Penuh. Kami bertemu dengan si model dan beberapa kawan fotografer di Sungai Penuh juga ikut melakukan hunting foto bersama. Kami berbagi pengetahuan teknik pemotretan dan berkarya sambil tertawa bersama. Ini merupakan pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Tumbuhnya rasa kekeluargaan yang besar dengan sesama penggiat foto tanpa membedakan asal dan suku.
Selanjutnya, pada malam hari saya dan kawan-kawan pendakian bertemu kembali untuk checking akhir dan mempacking peralatan yang akan kita bawa ke gunung Masurai esok harinya. Setelah memastikan peralatan lengkap dan saya kembali memberikan tips dan trik kepada tim, tentang apa saja yang akan kita lakukan nantinya di area konservasi hutan gunung Masurai. Kamipun beristirahat lebih awal dikarenakan besok masih jauh jarak yang akan kami tempuh untuk sampai di gunung Masurai.
Hari keempat (menuju Kabupaten Merangin)
Kamis, 04 November 2021 perjalanan menuju gunung Masurai dimulai. Berangkat dengan mobil milik Ari yang bersedia mengantarkan kami ke Desa Sungai Lalang, Kabupaten Merangin diawali dengan melengkapi beberapa administrasi yang harus kami siapkan. Kami singgah di RSUD Sungai Penuh untuk melakukan cek kesehatan dan meminta surat keterangan sehat sebelum menuju desa Sungai Lalang.
Jarak dari Kota Sungai Penuh ke Desa Sungai Lalang sejauh lebih kurang 100 Km menggunakan mobil selama 3 jam 30 menit perjalanan. Kami melintasi jalan lintas yang mengarah ke Kota Bangko. Sekitar 10 Km sebelum memasuka Kota Bangko, menurut Google Maps kami harus berbelok ke kanan yang mengarah ke desa Sungai Lalang. Selama perjalanan kami melewati beberapa perkampungan tersembunyi dengan kultur yang khas. Sesekali kami berhenti di pasar kampung untuk memastikan rute yang kami lalui benar mengarah ke desa Sungai Lalang.
Setelah 3,5 jam perjalanan, akhirnya kami melihat tapal batas bertulisan selamat datang di desa Sungai Lalang. Dalam kondisi gerimis dan mendung kami belum melihat keindahan gunung Masurai dan masih mereka-reka posisi “si sleeping mountain“. Karena sudah masuknya waktu makan siang, kami berhenti di salah satu warung makan sembari menggali informasi pendakian gunung Masurai. Setelah makan siang selesai, saya mencoba menghubungi nomor yang saya dapatkan pada saat mencoba berkomunikasi dengan Orari lokal menggunakan handy talkie malam kemarin. Pada saat berkomunikasi via phone, saya menyebutkan posisi dan rencana tim untuk melakukan pendakian kepada penggiat alam Masurai kerap disapa bang Toni (0823 7302 3106).
Bang Toni menyambut kedatangan kami dengan memberikan alamat rumahnya dan menawarkan kami untuk beristirahat malam ini sebelum melaksanakan pendakian esok harinya. Sekali lagi saya merasakan keramahan warga lokal (warlok) terhadap pengunjung ke wilayahnya. Bang Toni menjelaskan kepada saya dan tim tentang aturan-aturan yang menjadi kebiasaan selama berada di kawasan Masurai. Bang Toni juga mengoinformasikan bahwasanya sudah sejak 17 Agustus kemaren belum ada aktifitas pendakian lagi, sehingga saya merasa beruntung dan selintas tergambar kondisi hutan Masurasi sangat perawan. Kami pun diberikan area tempat tidur di ruangan tengah rumahnya beralaskan tikar dan bantal yang menyangga kepala agar tetap nyaman.
Hari kelima (menuju surganya Masurai)
Jum’at paginya selepas sarapan, bang Toni membawa saya dan tim menuju pos pendakian untuk melakukan registrasi. Setelah selesai registrasi saya yang nantinya sebagai koki selama di gunung Masurai, berbelanja di pasar kampung untuk melengkapi logistik yang akan kami bawa nantinya. Saya membeli beberapa makanan ringan seperti biskuit, coklat, roti dan lainnya untuk santapan saat istirahat di jalur pendakian. Selain itu, beberapa bahan masakan yang diperlukan selama 2 hari kedepan.
Perjalanan dimulai dari melawati perkampungan dibawah kaki gunung hingga melalui jalur di ladang petani. Dari titik ini kami sudah di suguhkan topografi layaknya lukisan indah negri Kerinci. Bang toni ikut mendampingi hingga pondoknya yang berada di ujung batas antara konservasi hutan dengan ladang warga. Sebelum melanjutkan pendakian, kami mengisi botol air minum di pondok bang Toni dan berdo’a memohon keselamatan dalam pendakian kali ini.
Setelah melewati perkampungan dan ladang warga selama 40 menit perjalanan, jalur berubah drastis dari tanah padat dan berkerikil menjadi tanah lembab dan basah. Benar menurut informasi yang saya lihat di YouTube, jalur pendakian gunung Masurai ini adalah hutan lembab dengan khas lumut tebal disepanjang jalurnya.
Dimulai dari titik ini pukul 08.40 Wib, kami berjalan menanjak perlahan melewati semak-semak yang hampir menutupi jalur pendakian. Sesekali juga harus memanjat dengan pegangan akar gantung pada pohon. Bekas pohon tumbang yang memanjang dijalur harus kami pijak dengan kondisi licin dan berlumut hingga menuju pintu rimba. Dari jalur menanjak, meniti patahan kayu, akhirnya kami kembali mendapatkan trek bonus (jalur datar), ini sepertinya akan menemukan shelter atau area datar yang biasanya digunakan untuk beristirahat.
Setelah 1 jam 30 menit perjalanan akhirnya kami sampai di pintu rimba pukul 10.10 Wib, tempat yang biasanya sebagai batas hutan belantara dalam pendakian gunung. Lokasi ini berada di ketinggian 1.749 MDPL. Kami pun beristirahat selama 20 menit sambil menyantap makan ringan yang sudah saya beli di pasar kampung sebelum memulai pendakian tadi. Kriuk-kriuk biskuit dan air asli pegunungan sebagai penambah tenaga dan melepas dahaga terdengar di sela-sela tawa saya dan tim pendakian.

Pukul 10.30 Wib dan setelah selesai istirahat, kami melanjutkan perjalanan sedikit landai dan sesekali memanjat dengan kemiringan 80 derejat menuju shelter 1 (satu). jarak tempuh dari pintu rimba ke shelter 1 (satu) selama 30 menit perjalanan. Sesampainya di shelter 1 (satu) pukul 11.00 Wib dengan ketinggian 1.875 MDPL, kami hanya berhenti sejenak (5 menit) sambil minum untuk lepaskan dahaga kemudian langsung melanjutkan perjalanan menuju shelter 2 (dua).
Sepanjang jalur menuju shelter 2 (dua) kami menemukan shelter-shelter pemburu, yang biasanya digunakan warga lokal untuk beristirahat dan memantau pergerakan buruannya. Jalur menuju shelter 2 (dua) ini normal seperti gunung-gunung biasanya. Menanjak dengan pijakan akar-akar pepohanan. Dikarenakan waktu menunjukan pukul 12.00 Wib, setelah berjalan selama 1 jam perjalanan, kebiasaan saya pada saat pendakian wajib untuk berhenti dan istirahat. Karena pesan dari senior tua saya di Pramuka, tidak baik berjalan di hutan belantara ketika waktu pas tengah hari. Dan saya memutuskan untuk istirahat makan siang di tempat sedikit menjorok di pinggir jalur pendakian.
Carrier yang tadinya menempel di tubuh segera kami turunkan lalu mengeluarkan perbekalan makan siang yang sudah disiapkan. Siang ini saya dan tim makan siang di tengah belantara, udara yang dingin dan sejuk, terdengar suara satwa-satwa yang hidup di dalamnya, menambah kenikmatan makanan siang ini. Usai makan kami masih bercengkrama sambil meriview perjalanan yang kami lalui dari desa Sungai Lalang tadi. Candaan demi candaan keluar dari kelucuan Nadel yang sempat terpleset beberapa kali. Termasuk saya yang hampir tersungkur pada saat memanjat akar pohon.
Waktu menunjukan pukul 13.40 Wib, setelah istirahat makan selama 1 jam 40 menit, kami kembali berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju shelter 2 (dua). Tidak lama kemudian, kami sampai di shelter 2 (dua) dengan ketinggian 2.308 MDPL. Sebenarnya dari tempat kami makan siang tadi ke shelter 2 (dua) hanya berjarak selama 15 menit perjalanan lagi. Dikarenakan tadi sudah pas waktu tengah yang harus mewajibkan seluruh aktifitas dihentikan, saya dan tim mengambil keputusan untuk berhenti demi keselamatan dalam pendakian.
Di shelter 2 (dua) kami tidak singgah untuk berhenti melainkan langsung terus menuju shelter 3 (tiga). Mulai dari sini tidak ada lagi trek bonus yang kita temui hingga sampai di shelter 3 (tiga). Jalur berubah dari semak belukar dengan akar-akar menjadi sedikit gelap dikarenakan banyaknya pohon besar berlumut sehingga menghambat cahaya matahari masuk ke dalamnya. Sesekali kabut tipis muncul seakan menyapa kami dan suhu sudah mulai terasa semakin dingin.

Diperjalanan menuju shelter 3 (tiga), hujan mulai turun membahasi bumi. Untungnya kami berjalan di tengah rimbunannya pepohanan, sedikit menghambat air yang jatuh langsung ke bawah. Walaupun begitu, saya tetap memerintahkan tim untuk memakai raincoat (jas hujan) agar barang bawaan tidak semakin berat akibat basah dan juga menghindari tubuh tidak basah yang bisa menimbulkan turunnya stamina karena dingin.
Suasana semakin gelap, dikarenakan langit masih mendung dengan gerimis yang tetap bertahan selama perjalanan. Nafas mulai tidak beraturan, otot-otot kaki seperti berontak menjerit meminta untuk berhenti. Jalur pendakian yang memanjat, memaksa melakukan 4WD dua tangan dan dua kaki berkolaborasi untuk melewati jalur ini. Jalur seperti ini yang menguras banyak tenaga saya dan tim. Penggunaan waktu yang sudah tidak bisa diprediksi seperti awal, terpaksa pasrah hingga menemukan tulisan shelter 3 (tiga).
Vegetasi berubah yang tadinya pepohonan tinggi menjadi tumbuhan semak sebahu menandakan puncak sudah dekat. Dari kejahuan tampak area luas seperti ada dataran dengan penuh harapan itu adalah shelter 3 (tiga) yang kami tuju. Dan saya dan tim sudah sepakat jika tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan, kita akan berkemah di shelter 3 (tiga) dan melanjutkan perjalanan ke puncak esok harinya.
Setelah berjalan selama 3 jam 15 menit dengan kondisi sedikit lembab dan dingin, akhirnya kami sampai di shelter 3 (tiga) pada ketinggian 2.688 MDPL pukul 16.55 Wib. Saya juga lupa bahwasanya shelter 3 (tiga) ini merupakan puncak pertama gunung Masurai. Dititik ini terdapat persimpangan, yang mana jalur ke kiri mengarah ke Danau Mabuk sedangkan jika kita ke kanan mengarah ke puncak tertinggi gunung Masurai dan juga mengarah ke Danau Kumbang yang sudah kita rencanakan untuk tempat berkemah malam ini.

Bahagia terpancar di wajah kami, kita sudah di puncak pertama gunung Masurai. Walaupun kami harus lanjut berjalan selama 25 menit untuk turun ke bibir Danau Kumbang. Dari titik ini kita dapat melihat keindahan Danau Kumbang yang tersembunyi diantara pepohonan. Saya dan tim memutuskan untuk istirahat selama 15 menit di shelter 3 (tiga) sebelum menumpuh jalur menurun menuju Danau Kumbang. Setelah sejenak istirahat, kami bergegas untuk turun ke bawah sebelum matahari tenggelam.
Pukul 17.15 Wib kami memantapkan untuk langsung turun menuju Danau Kumbang. Ada yang menarik pada jalur turun ini, kami menemukan tulisan “Tanjakan Syaiton”. Benar, sesuai dengan namanya, kita harus menuruni tebing dengan sudut 90 derejat setinggi kurang lebih 10 meter. Disini dibutuhkan kepastian disetiap pijakan, jika salah pijakan dan terpeleset, bisa mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Mungkin karna itu dinamakan tanjakan syaiton, tingkat ekstrim jalurnya yang cukup tinggi.

Saya dan tim sampai di area camp tepi danau pukul 17.40 Wib dan langsung mendirikan tenda sebelum area danau menjadi gelap. Usai mendirikan tenda, kami segera mengganti pakaian dengan yang kering, agar tetap nyaman dan hangat. Sementara itu saya langsung menghidupkan kompor untuk menyiapkan makan malam. Dari beberapa bahan yang saya beli tadi pagi, saya mencoba membuat sup untuk menghangatkan badan setelah perjalanan basah sore tadi. Setelah makan kami langsung beristirahat untuk memulihkan tenaga dan berharap esok harinya cerah sehingga kami dapat menikmati ketenangan Danau Kumbang.
Hari keenam (bersantai)
Pagi di Danau Kumbang membuat saya takjub dengan landscape cantik sejengkal di depan mata. Kabut seakan berlarian dan menari di atas tenangnya air danau membuat betapa romantisnya pagi itu. Saya bergegas mengambil nesting dan menghidupkan kompor untuk sebuah kopi panas melengkapi damainya suasana. Sesekali bibir ini bergerak mengucapkan puji-pujian kepada sang pencipta.


Memasak ditemani kecantikan Danau Kumbang, seakan menambah cita rasa dari sarapan pagi itu. Kami sarapan dengan minuman panas dan roti dilumuri selai coklat memberikan semangat menyambut cerahnya hari. Nadel bertugas mengeringkan semua peralatan yang lembab, Jeky mencuci peralatan yang kotor, Arya sibuk mengabadikan aktifitas kami dengan kamera sedangkan saya sibuk dengan peralatan masak sembari mendengarkan musik-musik petualangan.

Hari itu adalah waktu yang tepat untuk bermalas-malasan, menikmati indahnya ciptaan Tuhan sambil bermain, bercanda, hingga mandi di danau. Menjelang siang saya kembali memasak. Kali ini dengan menu sambal pedas, asam, manis dicampur dengan daging yang dipotong tipis. Banyak waktu yang kami habiskan disana dan tak terasa berjumpa kembali dengan malam. Sayangnya cuaca malam di Danau Kumbang saat itu hujan, kami tidak dapat menikmati suasana di malam harinya. Konon, menurut bang Toni, jika malam cerah maka langit seperti bercermin di atas air danau. Ya sudah, mungkin ini belum rezeki untuk melihat kecantikan Danau Kumbang di malam hari. Usai santap makan malam, kami langsung istirahat agar stamina esok harinya penuh dan siap untuk turun dari Gunung Masurai.
Hari ketujuh (sampai jumpa Masurai)
Setelah sarapan kira-kira pukul 10.00 Wib, saya dan tim kembali berkemas dan merapikan area camp yang kami tempati. Waktunya untuk berpisah dengan Danau Kumbang. Setelah memastikan tidak ada lagi barang yang ketinggalan kami segera bergerak meninggalkan danau dan tidak lupa membawa kembali sampah selama di sana turun ke bawah.
Diperjalan kami kembali bertemu dengan tanjakan syaiton, yang mana kami harus memanjat tebing tinggi ini agar sampai di puncak. Sebenarnya puncak tertinggi gunung Masurai bukan di Shelter 3 (tiga) kemarin, melainkan ada puncak berbentuk kerucut yang harus berjalan lagi kesana kurang lebih selama 30 menit. Tapi kami tidak menyambangi puncak tersebut, karna puncak bukan tujuan pendakian kali ini.
Perjalanan turun dari Danau Kumbang ke Desa Sungai Lalang kami selesaikan selama 6 jam 13 menit. Rasa syukur, bahagia,haru bercampur di dalam hati setelah saya kembali melihat hamparan ladang warga dan telah keluar dari wilayah konservasi hutan gunung Masurai. Sesampainya di desa Sungai Lalang, kami bertemu kembali dengan bang Toni dan Ari yang sudah menunggu dari siang untuk membawa kami kembali ke Sungai Penuh. Bang Toni meminjamkan kamar mandinya untuk kami bersih-bersih sebelum meninggalkan desa Sungai Lalang.

Sebelum pulang ke Sungai Penuh, bang Toni mengajak kami untuk minum di cafe temannya dan makan malam di Kota Bangko. Jujur, saya yang tidak suka minum susu putih selama ini, entah kenapa menjadi suka meminumnya. Suguhan pecel ayam khas Kota Bangko mengamankan perut malam itu. Kami pun akhirnya berpisah dan saya dan tim kembali menuju kota Sungai Penuh. Sesampainya di rumah Ari, saya dan tim kehabisan tenaga dan sangat mengantuk lalu tidur.
Hari kedelapan (back to Padang)
Ini merupakan hari terakhir saya di Provinsi Jambi. Awalnya saya berniat untuk mengunjungi Danau Tujuh Kerinci, dikarenakan cuaca hari itu hujan saya langsung mengambil keputusan untuk kembali saja ke Padang. Sembari menunggu hujan reda pagi itu, saya langsung mempacking barang-barang untuk persiapan pulang. Sebelum pulang saya dan tim pendakian sempat bertemu kembali dan berpamitan. Rasa haru menyelimuti pagi itu. Ucapan terimakasih tak cukup membayar ketulusan dan bantuan dari kawan-kawan yang bersedia menemani perjalanan saya kali ini.
Setelah meninggalkan kediaman Ari saya menuju bengkel milik teman saya “Budi”. Dia merupakan kawan waktu SMA dan kami tinggal berdekatan di Padang. Di bengkel saya menjemput motor yang saya titipkan ke Budi, sekaligus ia memperbaiki beberapa masalah yang timbul saat perjalan dari Padang ke Sungai Penuh. Pukul 11.00 Wib saya langsung bergerak menuju kota Padang dan mengambil jalan berbeda dari keberangkatan.
Saya mengambil arah via Jambi – Tapan Pesisir Selatan. Jujur, saya baru kali ini melewati jalur ini dan pastinya dibantu oleh Google Maps sebagai penunjuk jalan. Disepanjang jalan masih terdapat beberapa titik longsor dan cukup rawan dilewati ketika musim hujan. Singkatnya saya sampai di rumah (Padang) pukul 17.30 Wib.
Masih terlintas di dalam fikiran sakitnya jalur pendakian gunung Masurai, kecantikan Danau Kumbang dan kehangatan keluarga baru selama perjalanan. Semoga dikesempatan lain, saya bisa kembali menyapa gunung Masurai dan bertemu dengan kawan-kawan. Sayangnya, file dokumentasi perjalanan ini hilang dan hanya beberapa yang tersisa.
Penulis : Febriandes (Humasinfo Kwarda Sumbar)
Foto : Febriandes